Nafsu dan Keseimbangan dalam Islam serta Konsep Yin dan Yang

Oleh: Nurul Huda Haem
Dalam filosofi Taoisme ada dikenal konsep Yin-Yang yang merupakan dua unsur keberadaan yang berlawanan tapi saling melengkapi. Yang adalah unsur Cahaya digambarkan dengan warna putih, bergerak naik berpadu dengan Yin yaitu kegelapan yang digambarkan dengan warna hitam dan bergerak turun. Konsep Yin-Yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain. Namun demikian, biasanya konsep ini tidak memperhitungkan sesuatu yang baik atau jahat dan penilaian moral, dalam kaitannya dengan konsep keseimbangan.
Secara semantik, Yin adalah tempat yang teduh, sementara Yang adalah tempat yang terang atau cerah. Mereka hanyalah dua aspek realitas yang sebenarnya berdiri sendiri. Dan masing-masing mengandung unsur dari yang lainnya, karena itu terdapat titik hitam dari Yin pada bagian putih dan begitu juga sebaliknya. Yin dan Yang tidak hanya sekedar saling menggantikan, namun mereka menyatu satu sama lain melalui aliran konstan alam semesta.
Konsep keseimbangan dalam Islam dikenal sebagai tawazun, yang dalam al-Quran kata ini terwakili oleh al-mizan yang berarti neraca keadilan (QS Ar-Rahman 7). Dalam konteks kehidupan sosial al-Quran menggunakan kata wasathâ atau biasa kemudian digunakan istilah tawasuth yang artinya moderat atau bersikap tengah-tengah (QS Al-Baqarah 143), tetapi konsep ini tidak diperbincangkan dalam soal moralitas seperti kebaikan dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan garis pemisahnya amat tegas, al-Quran menggunakan istilah al-Haq (kebenaran) dan al-Bâthil (kebatilan) seperti tercantum dalam QS Al-Baqarah 42 atau juga menggunakan istilah ath-thayyib (kebaikan) dan al-khabîts (keburukan) seperti termaktub dalam QS Al-Maidah 100.
Bila kita mau telaah konsep keseimbangan ini sebenarnya ada dalam kajian tentang an-nafs atau jiwa, di mana al-Quran setidaknya menyebut tiga jenis jiwa manusia. An-nafs al-ammarah (QS Yusuf 53), an-nafs al-lawwamah (QS al-Qiyamah 2) dan an-nafs al-muthmainnah (QS al-Fajar 27-30).
Para ulama memang berbeda pendapat dalam mengartikan kata an-nafs ini, ada yang mengartikannya sebagai ruh ada juga yang menerjemahkannya sebagai jiwa. Ibnu Manzhur yang menulis kitab Lisân al-‘Arab membagi nafs pada dua makna; nafs al-‘aql dan nafs ar-rúh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan alias mati. Kata nafs menjadi hilang konteksnya bila diterjemahkan sebagai nafsu yang pada umumnya berarti syahwat, bersifat pejoratif dan berkonotasi seksual. Padahal kata nafs yang bermakna nafsu itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk, boleh jadi kata “nafsu” ini merupakan pengaruh dari teori Sigmund Freud yang mengatakan bahwa nafsu (libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia.
Nah, dalam konteks an-Nafs sebagai jiwa atau kerap saya sebut sebagai akal budi inilah konsep keseimbangan sebagaimana konsep Yin-Yang menemukan kesamaannya. Al-Quran tidak memerintahkan kita untuk menghilangkan nafsu, ia mengajarkan kita untuk mengendalikannya. Karenanya, ketiga nafsu yang saya sebutkan di atas harus tetap ada dalam jiwa manusia namun dengan catatan ketiganya di bawah kendali kita. Akal budi harus mengendalikannya. Proses pengendalian ini membutuhkan latihan-latihan yang intensif dan konsisten.
“Jadikanlah akal budi sebagai komandan agar liarnya nafsu terpenjara sebagai tawanan.”