Ibu; Penentu Sukses Seorang Anak

Selama ini kita hanya sering melihat kebesaran seorang tokoh dengan melihat sosok ayahandanya saja. Si Polan ini seorang Alim sebab dia putra Kiai Polan, si Polan ini pengusaha yang sukses, sebab anak saudagar anu dan begitu seterusnya. Padahal kalau kita mau jujur, peran seorang Ibu itu lebih besar dari peran ayah (walaupun ini menurut pengamatan saya pribadi). Ada beberapa contoh nyata dikalangan para Ulama kita.
1. Ibu Nyai Halimah, istri dari Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, pendiri pondok pesantren Tremas Pacitan. Dikisahkan bahwa suatu hari beliau seng “mesusi” beras, lalu tetiba keajaiban terjadi, beras yang beliau “pesusi” tadi berubah menjadi emas. Melihat hal aneh tersebut, bukannya senang malah beliau takut kalau-kalah itu dari Jin/ setan. Toh kalaupun itu dari Alloh, beliau takut kalau itu Istidroj, akhirnya Ibu Nyai Halimah berdoa seketika: ” Ya Alloh yang hamba harapkan bukan ini, tetapi hamba berharap agar santri Tremas yang mondok sampai 3,5 tahun maka dia menjadi seorang Ulama”. Dan kenyataan terjadi, betapa banyak santri-santri Tremas yang kemudian menjadi seorang yang Alim, bahkan seorabg Auliya’, sepert i halnya Kiai Ali Maksum Krapyak, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Muslih Mranggen dan masih banyak lainnya.
2. Ibu Nyai Asy’ari. Saya pernah mendengar cerita tutur bahwa salah satu bentuk bakti Bu Nyai Asy’ari kepada Kiai Asy’ari adalah menyediakan air wudhu yang akan digunakan oleh Kiai Asy’ari saat beliau hendak Qiyamul Lail. Dan air wudhu itu harus ditimba dari sumur. Begitulah kegiatan Nyai Asy’ari saban malam menjelang pertigaan malam. Nah, suatu hari pernah saat bu Nyai melakukan kegiatan rutin tersebut, beliau mengangkat timba sumur, tetiba keanehan terjadi. Bukannya berisi air, timba itu malah berisi emas. Melihat hal aneh itu, bukannya senang tetapi malah beliau kembali memasukkan timba ke dalam sumur kembali. Hal itu seperti itu terulang sampai 3 kali. Sampai akhirnya Bu Nyai Asy’ari dawuhan: ” Gusti…hamba tidak menginginkan Emas, tetapi air untuk wudhu suami hamba”. Akhirnya air pun kembali seperti semula lagi. Tak ayal, dari Simbah Kiai Asy’ari dan sang Istri terlahir seorang Ulama yang menjadi guru hampir semua Ulama Jawa. Yakni Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari. Gurunda Kiai Maemoen sering menyampaikan analisa beliau perihal fenomena Mbah Hasyim ini dalam berbagai kesempatan. Beliau dawuh: “Pondok Neng Jowo kok gedhe, kui biasane santri Kiai Hasyim”. Dan memang benar, Mbah Manab adalah santri Kiai Hasyim yang kemudian mendirikan pondok Lirboyo. Mbah Jazuli Utsman juga santri Mbah Hasyim yang kemudian mendirikan pondok Ploso. Mbah Ahmad bin Syuaib adalah santri Mbah Hasyim yang kemudian mendirikan pondok MUS Sarang. Kiai Abbas adalah santri Mbah Hasyim yang kemudian mendirikan pondok Buntet, dan masih banyak yang lain.
3. Bu Nyai Muhdhor. Sebenarnya saya pernah mendengar cerita tentang Bu Nyai Muhdhor ini dari Gurunda, tapi saya ragu tentang nama beliau. Dikisahkan bahwa Bu Nyai ini setelah menikah dengan Kiai Muhdhor, beliau tidak langsung mau dikumpuli, tetapi beliau ingin tirakat dahulu, yakni berpuasa agar santri-santri dan anak turun beliau menjadi orang-orang yang Alim, manfaat ilmunya di dunia dan akherat. Mendengar hal yang demikian itu, Kiai Muhdhor tidak marah, malah merasa senang, sehingga tidak aneh jikalau kemudian keturunan dari Kiai Muhdhor dengan istrinya ini menjadi orang-orang Alim nan sholih. Seperti halnya Kiai-kiai sarang, semenjak Simbah Kiai Ghozali, Muassis Awal pesantren Sarang, sampai sekarang ini. Begitu juga banyak santri-santri sarang yang menjadi orang-orang yang bermanfaat di masyarakat masing-masing.
Ketiga wanita di atas hanyalah sekelumit dari ribuan Ibu yang melakukan tirakat demi kesuksesan anak turun maupun generasi setelahnya. Saya tidak menutup mata dan tidak memungkiri peran kaum lelaki dalam memajukan umat. Namun saya kadang melihat, kenapa peran besar para Ibu tersebut jarang diangkat. Padahal siapa tau malah sebab tirakat para ibu itulah kesuksesan sebuah generasi terjadi, sebagaimana kisah-kisah yang saya angkat di atas. Karena para wanita adalah Madrasah Ula bagi anak-anaknya. Sekarang ini pun jarang sekali saya temukan ada sekolahan yang khusus untuk mempeljari masalah-masalah kewanitaan, selalu seseorang lebih bangga ketika mempunyai anak lelaki, walaupun mereka tau bahwa semua keturunan baginda Nabi itu dari jalur wanita, yakni Fatimah Az-Zahra’.
Maka, hormatilah Ibumu dan sayangi mereka. Hormatilah Istrimu, dan sayangilah mereka. Hormatilah wanita, sebab baginda Nabi pun dedawuhan:
خياركم خيركم لاهله
“Orang-orang pilihan diantara kalian adalah mereka yang selalu berbuat baik kepada Istrinya”. (dhiyamuhammad/alanu)