Cara Mengatasi Musibah

Oleh: Nurul Huda Haem
Setiap peristiwa itu terjadi karena bentukan pola yang berulang. Hanya saja volume dan daya setiap pengulangan itu tidak seragam. Ada yang sering kali ada yang sangat jarang. Tapi sejarang apapun ada pola. Petakan polanya itu, titeni, cermati, fahami lalu minta kepada Gusti Allah diparingi “pengetahuan ‘irfani” agar bisa memami “cara kerja” Dia yang Maha Lembut Nan Sempurna itu.
Seperti pola hidup yang berulang antara kelahiran dan kematian, antara suka dan duka, antara anugerah dan musibah, antara ketiadaan dan ke-ada-an. Anda bisa luaskan pada ragam peristiwa kehidupan yang lain; dalam parenting misalnya saya selalu mengatakan, tidak ada anak yang selamanya nakal, selamanya bodoh, selamanya menyebalkan, ada saja fase -terkadang durasinya lebih sering- yang riang, menyenangkan dan menggembirakan. Tetapi karena fokusnya pada “kekurangan”, maka yang sedikit dari kekurangannya itu mendominasi keseluruhan waktu yang kita miliki. Pada level tertinggi, orang tua yang “sadar”, tidak akan melihat kenakalan, kebodohan dan aksi menyebalkan dari anak-anaknya karena yang terhidang di hadapannya adalah sebuah peristiwa yang disikapi sebagai produktifitas dan kreatifitas pendampingan yang harus ditingkatkan.
Siapa provokatornya? Nafsu.
Dalam istilah psikologi jiwa, nafsu itu semacam “wujud” lain dari “jiwa”; infinita kembar, ia merupakan antitesa dari akal budi yang mengarahkan kita pada kebaikan. Saya sering menyebutnya sebagai Negatif Emotional Self Talk (NEST) sebagai lawan dari Positive Emotional Self Talk (PEST). Ingat, sebelum sebuah aksi terjadi, ada saja “pertengkaran” batin yang mengawali, antara menolak atau menyetujui.
Lagi-lagi ini soal kebiasaan meneliti, mengawasi dan merekam semua dalam memori hati yang bersih lalu mintalah agar Allah memberikan pengetahuan ‘irfani. Pengetahuan ‘irfani adalah anugerah yang Allah berikan kepada seorang hamba yang senang melibatkan Allah dalam setiap urusannya. Melibatkan Allah itu bukan hanya dalam bentuk ibadah formal seperti shalat, puasa, haji, bahkan sedekah dan dzikir, tetapi dirinya sadar betul berada dalam kondisi yang amat teramat lemahnya dan satu-satunya yang menguatkan hanyalah Gusti Allah semata.
Kematian sebagai puncak peristiwa yang “mengakhiri” aktivitas dunia misalnya, bagi sebagian kita adalah musibah, maka tak jarang kita menangisinya. Tapi apa yang kita tangisi? Sebagian kita menangisi ego kita. Ego karena ditinggal sang anak, ego tak punya suami lagi, ego tak memiliki ayah lagi, tangisan yang terjadi hakikatnya adalah tangisan atas ego kemelekatan diri.
Maka belajarlah dari pengalaman saat kehilangan sesuatu yang kita senangi atau bahkan kita cintai even itu bersifat duniawi. Ke-HILANG-an itu dalam “management musibah” yang Allah ajarkan kepada kita adalah KEMBALI-nya sesuatu yang melekat dalam hidup kita kepada Yang Punya. Prinsip ini disebut dengan istirja’ yang ucapan terkenalnya adalah Innâlillâh wa innâ ilaihi râji’ûn artinya sesungguhnya kami ini milik Allah dan kepada Allah kami kembali.
Semoga kita dapat mengambil hikmah terdalam atas setiap peristiwa kehidupan yang kita alami dan memulai kebiasaan aktif mengenali pola peristiwa yang berulang dalam kehidupan ini.